Create your own at MyNiceSpace.com

   
  Iska' Iskaandaar
  Liga Indonesia, Kapan Berubah?
 

Semua hajatan sepak bola nasional musim 2008/2009 telah berakhir dan ditutup dengan noda hitam kasus mogoknya Persipura dari final Copa Indonesia. Ini klimaks penuh kegetiran, cermin pengelolaan kompetisi sepak bola yang masih jauh dari profesional. Entah siapa yang salah dan tidak becus, mengapa selalu saja ada yang tidak beres.
Marcel Desailly, mantan bintang sepak bola Perancis, mungkin baru sekali ke Indonesia saat mengikuti tur AC Milan, tampil di Jakarta dan Surabaya tahun 1994. Namun, dalam pertemuan dengan Kompas di Johannesburg, Juni lalu, ia sama sekali tidak sulit menjawab pertanyaan: mengapa sepak bola Indonesia seperti sulit sekali berkembang?
”Mungkin karena kompetisi di negeri Anda tidak terorganisasi dengan baik, tidak cukup banyak pertandingan level tinggi,” ujarnya. Jawaban dari ”orang luar” itu tidak meleset jika kita, insan sepak bola nasional, jujur dengan realitas kompetisi negeri ini.
Musim 2008/2009 yang baru berakhir, musim yang katanya tonggak baru kompetisi nasional dengan diluncurkannya Liga Super Indonesia (LSI), ternyata sami mawon dengan tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari kerusuhan suporter, jadwal kompetisi yang selalu berubah, kinerja wasit yang tetap buruk, pengelolaan klub yang amatiran, hingga yang menggelikan lagi, tentang tim-tim musafir peserta liga.
Mungkin karena begitu uniknya kompetisi musim lalu, beberapa hari lalu Reuters melansir berita soal Liga Indonesia. Pada berita yang kemudian dikutip berbagai media internasional itu, kantor berita yang bermarkas di London tersebut menyebut Liga Indonesia musim 2008/2009 sebagai musim yang kacau-balau (a shambolic season).
Penyebutan itu merujuk pada kenyataan beberapa klub musafir yang tidak punya lapangan bertanding (home ground) dan diabaikannya aturan-aturan soal kualifikasi pelatih klub. Sebenarnya, awalnya hanya tiga klub musafir musim lalu, yakni Persitara Jakarta Utara, Persita Tangerang, dan PSMS Medan.
Namun, belakangan, Persija Jakarta ikut menjadi musafir terkait larangan kepolisian menggelar laga sepak bola di Jakarta demi keamanan Ibu Kota menjelang Pemilu Legislatif 2009. ”Tak akan ada lagi klub-klub musafir musim depan. Kami tidak akan kompromi,” ungkap Joko Driyono, Direktur Kompetisi Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI).
”Kami akan mulai melakukan verifikasi klub-klub itu, Agustus mendatang, dan kami berharap itu sudah selesai akhir Agustus,” ungkap Joko. Intinya, klub-klub yang tidak punya modal stadion tempat laga kandang tidak boleh bertanding di kancah LSI.
Posisi mereka di LSI dapat digantikan klub-klub Divisi Utama yang lebih memenuhi syarat. Apakah tekad itu bakal benar-benar terlaksana atau tidak, masih perlu ditunggu. Maklum, bukan rahasia lagi di mata insan bola nasional bahwa aturan soal pengelolaan sepak bola negeri ini sering berganti, seperti sopir bajaj yang sulit ditebak arahnya.
Mengapa bisa kacau?
Istilah ”musim yang kacau-balau (a shambolic season)” mungkin terasa berlebihan dan cenderung simplistis. Namun, jujur harus diakui, selalu ada hal-hal yang tidak beres dalam pengelolaan kompetisi sepak bola negeri ini. PSSI sebenarnya tidak habis-habisnya berusaha memperbaiki situasi.
Pembentukan BLI, yang diberi otoritas khusus menangani kompetisi level nonamatir (LSI, Divisi Utama, dan Copa Indonesia), salah satu upaya mereka. Lembaga itu diketuai Andi Darussalam Tabusalla—sosok lama yang bertahun-tahun berkecimpung di sepak bola nasional—dan diharapkan meniru badan Liga Primer di Inggris yang sukses memutar kompetisi dan bisnis.
Namun, setelah beberapa tahun kehadiran BLI belum membawa perubahan signifikan. Di beberapa kesempatan, Joko menyebut adanya faktor eksternal dan internal yang memengaruhi roda kompetisi.
Musim ini, faktor eksternal itu adalah hajatan Pemilu 2009. Partai Liga Super di beberapa klub di Jawa sempat terhenti karena kepolisian tidak mengizinkan laga sepak bola menjelang hajatan politik nasional. Namun, bukankah pemilu siklus lima tahunan yang sudah diketahui jauh-jauh hari?
Dari sini, BLI terlihat belum cakap mengantisipasi situasi yang mungkin ditimbulkan hajatan politik nasional itu. Kondisi ini diperparah citra negatif sepak bola yang dinilai lekat dengan kerusuhan suporter. Andai saja sepak bola tertib, bisa jadi ceritanya bakal lain.
Joko tidak menampik adanya faktor internal di kalangan PSSI yang turut andil bagi tertatih-tatihnya kompetisi musim lalu. Ia menyebut agenda pemusatan latihan tim nasional di bawah pelatih Benny Dollo jelang Pra-Piala Asia 2011 sebagai contoh.
Putaran kedua LSI musim lalu harus mundur sepekan setelah Benny Dollo meminta pelatnas dimajukan dari jadwal semula. Ia menemui Ketua Umum PSSI Nurdin Halid yang menyetujui permintaan tersebut meski hal itu mengorbankan kompetisi.
Bukan kali itu saja Nurdin melakukan intervensi dalam pengelolaan kompetisi. Ketika kompetisi terhenti di Jawa karena tidak diizinkan kepolisian, ia juga membatalkan kesepakatan klub-klub untuk menggelar kompetisi yang dipadatkan dan dipusatkan di satu wilayah (sentralisasi). Saat itu, Nurdin beralasan telah mendapat persetujuan klub-klub.
Blunder di akhir
Blunder PSSI dan BLI di pengujung musim yang sulit dilupakan adalah keputusannya menggelar final Copa Indonesia di Palembang, markas Sriwijaya FC yang juga tampil di final. Bukan untuk menyetujui upaya mogok Persipura, keputusan itu memunculkan kecurigaan seolah juara Copa telah diatur.
PSSI dan BLI jelas membantah kecurigaan itu. Namun, yang ditunggu insan bola nasional bukan sekadar bantahan, melainkan tindakan nyata agar penyelenggaraan kompetisi lebih baik. Kapan itu, wahai BLI dan PSSI?
 
 
  Today, there have been 4 visitors (5 hits) on this page!
Blinkie Text Generator at TextSpace.net
 
 

Create your own at MyNiceSpace.com
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free